How to Share With Just Friends

How to share with just friends.

Posted by Facebook on Friday, December 5, 2014

Wednesday, March 09, 2016

Peranan Orang Melayu dalam Pemerintahan Sarawak dan Sabah pada abad ke-19



oleh: Linda Sunarti

            Tulisan ini membahas tentang peranan orang Melayu Islam pada masa pemerintahan keluarga Brooke di Sarawak  dan pada masa pemerintahan Syarikat Dagang Inggris Kalimantan Utara (British North Borneo Chartered Company/BNBC) di Sabah.  Dalam konteks tulisan ini istilah “Melayu Islam”perlu dijelaskan. Di Sarawak , istilah Melayu menjelaskan tentang kelompok Melayu Islam dan Melanau yang menganut agama Islam, bertutur dialek Melayu, dan mengamalkan adat istiadat Melayu. Di Sabah istilah ini merujuk pada kelompok berikut: Orang Melayu Brunai, Bajau, Kedayan, Balangnini, Bisaya, Idaan, Illanun dan Sulu.  Perlu juga dijelaskan, bahwa Syarikat dagang Inggris Kalimantan Utara atau BNBC tidak menggunakan istilah Melayu; BNBC menyebut nama setiap kelompok pribumi asli dengan nama etnis masing-masing.  Di kedua wilayah ini, orang Melayu Islam merupakan kelompok minoritas. Di Sarawak pada tahun 1840-an orang Melayu Islam hanya berjumlah 32% dari keseluruhan jumlah penduduk Sarawak, sedangkan di Sabah pada tahun 1880-an , orang Melayu Islam hanya berjumlah 35% berbanding dari keseluruhan jumlah penduduk Sabah.
            Pembahasan dalam tulisan ini dimulai dari era dimana kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Brunai. Dengan menelaah kembali peranan Orang Melayu Islam pada masa Kesultanan Brunai, kita dapat melihat proses kesinambungan dan perubahan peran mereka dalam pemerintahan Sarawak pada era keluarga Brooke dan pemerintahan Sabah pada era BNBC. Walaupun  hanya sebagai kelompok minoritas di kedua wilayah tersebut, tetapi orang Melayu Islam  menguasai hampir 75% jabatan dalam pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan BNBC di Sabah  dan keluarga Brooke di Sarawak tetap menggunakan dan melibatkan Orang Melayu Islam dalam pemerintahan. Di Sarawak , James Brooke tetap mengekalkan sistem  Datu-Datu Melayu Sarawak dan melibatkan mereka dalam pemerintahan pusat yang berkedudukan di Kuching.
Faktor lain yang menyebabkan kerterlibatan mereka dalam pemerintahan yang baru adalah pengaruh agama Islam  yang positif  dan kedudukan geografis mereka, dimana hampir sebagian besar orang-orang Melayu Islam tinggal di muara-muara sungai, hal ini sangat  menguntungkan posisi mereka, karena mereka dapat mengawal lalu lintas perdagangan , selain itu  memudahkan mereka berhubungan dengan dunia luar.
            Di kedua wilayah tersebut, peranan politik orang Melayu Islam melebihi peranan mereka di bidang ekonomi. Namun , peranan politik orang Melayu Islam di Sarawak lebih menonjol dibandingkan orang Melayu Islam di Sabah, karena di Sarawak orang Melayu terlibat dalam pemerintahan di tingkat  pusat dan lokal  sedangkan di Sabah penyertaan orang Melayu hanya pada tingkat lokal.
           
Keterlibatan Ketua Melayu Islam dalam Pemerintahan Sarawak pada Masa Kesultanan Brunai
Orang Melayu Islam di Sarawak telah ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan politik Kesultanan Brunai  sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Mereka juga berperan aktif di  bidang perdagangan. Pada masa itu Sarawak adalah bagian dari wilayah Kesultanan Brunai. Ketika Brunai meluaskan wilayah kekuasaannya ke kawasan lembah-lembah sungai di barat laut Kalimantan pada abad ke-18, di muara –muara sungai tersebut diperintah oleh golongan bangsawan atau pangeran.
. Di Sarawak misalnya, pada setiap sistem sungai terdapat seorang ketua Melayu Islam. Mereka biasanya menguasai dan mengawal muara sungai yang strategis, oleh karena itu sebagian  besar tempat tinggal  mereka terletak di kawasan pantai. Setiap Ketua Melayu Islam menganggap diri mereka sebagai pemimpin bagi semua kelompok yang tinggal di sepanjang sungai tersebut. Namun pada masa itu, biasanya kekuasaan seorang Ketua Masyarakat  terhadap kawasan pedalaman di sepanjang sungai tersebut berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Kekuasaan Pemimpin-pemimpin Melayu tersebut biasanya tergantung pada kharisma individu, keahlian, dan  kemampuannya mengawal perdagangan yang keluar masuk di sepanjang sungai tersebut. Pada masa itu hampir semua golongan bangsawan Melayu Islam  berharap dapat berperan sebagai pedagang dan juga penguasa, terlebih pada waktu itu tidak ada batas yang jelas antara fungsi perdagangan dan politik dalam sistem nilai tradisional.
            Ketika James Brooke tiba di Sarawak pada tahun 1839, wilayah tersebut diperintah oleh Pangeran Mahkota.  Pangeran Mahkota telah dilantik beberapa kali diantara tahun 1824 dan 1830. Pada masa itu bangsawan setempat (bangsawan asli penduduk Sarawak) dan para pengikutnya tinggalnya di Lidah Tanah, bukan di Kuching. Lidah Tanah merupakan pusat pertemuan dua  cabang sungai Sarawak dan menjadi pusat perdagangan masyarakat lokal yang cukup penting. Lokasi tempat ini  sangat strategis karena dapat mengawasi perdagangan sungai dengan orang dayak di hulu sungai.
            Ketika Pangeran Mahkota tiba di Sarawak pada akhir tahun 1820-an, ia mendirikan kota Kuching dan membangunnya sebagai kota pelabuhan, yang kemudian memiliki peranan penting dari segi politik dan strategi.  C.A Lockard menilai pembangunan kota Kuching dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat asli Sarawak yang tinggal di Lidah Tanah . Lockard berpendapat, kedatangan pangeran mahkota dan pengikutnya tidak disukai oleh elit Melayu lokal, mereka menganggap kedatangan Mahkota dapat mengurangi kekuasaan mereka.
            Kota Kuching yang  terletak di selatan tepi kawasan pantai yang berpaya sangat cocok dijadikan sebagai pusat kekuasaan Pangeran Mahkota. Lokasinya yang terletak pada pertemuan dua muara sungai  dan tidak jauh dari pusat penambangan bijih timah. Selain itu letaknya terlindung oleh bukit sehingga sangat ideal untuk sebuah kota karena tidak mudah diserang oleh musuh. Pemilihan Kuching sebagi pusat kekuasaan Pangeran Mahkota (bangsawan Brunai) karena mereka telah mengetahui harga bijih timah sangat tinggi di pasaran Singapura. Pertimbangan ini mempengaruhi Mahkota dan pengikutnya untuk membuka kawasan tambang timah dan menetap di Kuching. Oleh karena itu semasa James Brooke tiba , kota Kuching sudah didirikan oleh seorang putera raja Brunai
            Sebelum kedatangan Brooke, daerah-daerah lain di Sarawak, kecuali Saribas yang dikuasai oleh orang Iban, dipimpin oleh pemimpin Melayu Islam. Ketua Melayu Islam biasanya  menduduki dan mengawal muara sungai yang strategis, walaupun pengaruh mereka yang sesungguhnya pada penduduk di kawasan pedalaman berbeda dari satu tempat ke satu tempat yang lain. Brooke meyadari hal tersebut dan untuk melemahkan kekuasaan ketua Melayu Islam ini, Brooke  mengubah pola penempatan  tradisional mereka dengan menempatkan penduduk mengikut kelompok etnisnya. Brooke memindahkan masyarakat Melayu Islam ke satu wilayah yang lebih jauh dari hulu sungai dan menggunakan persaingan  antar etnis sebagai strategi untuk menguatkan kekuasaanya.
           
Peranan  Orang Melayu Islam dalam Politik pada masa Pemerintahan Keluarga Brooke
            Walaupun pengaruh ekonomi dan politik orang Melayu Islam sebagai kelompok yang dominan telah merosot setelah James Brooke mengambil alih Sarawak, tetapi mereka masih memegang peranan dalam pemerintahan pada masa pemerintahan Keluarga Brooke. Di bawah pemerintahan Brooke, khususnya James Brooke mereka tetap mendapat kedudukan yang istimewa, meskipun mereka terpaksa tunduk kepada Rajah Putih (The White Rajahs).
            Untuk menjamin kesetiaan masyarakat lokal, James Brooke  mempelajari institusi pribumi yang ada pada masa itu. Ia memberikan  memegang kekuasaan tertinggi di Sarawak, ia memberikan kelonggaran pada adat istiadat masyarakat lokal. Dari sejak awal pemerintahannya, pemerintahan Brooke sangat bergantung pada beberapa pegawai Eropa yang jumlahnya sangat sedikit, oleh karena itu peranan pegawai pribumi lokal sangat dibutuhkan .
             Pegawai-pegawai pribumi ini kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan Melayu Islam. Mereka dilantik di setiap daerah oleh Rajah Putih atas usul dari pegawai daerah. Pegawai-pegawai ini menerima gaji tetap. Mereka memainkan peranan penting dan menjadikan pemerintahan Brooke diakui di luar wilayah Kuching. Mereka inilah bertanggung jawab menjamin kelancaran jalannya pemerintahan.
            Selain itupun ia menyadari bahwa  pegawai pribumi  lebih memahami dan mengetahui kondisi masyarakat setempat. Dengan bekerjasama ketua –ketua masyarakat setempat, James Brooke dapat  menjalankan undang-undang dan aturan yang ia buat. Dasar yang dipelopori oleh  James Brooke adalah tradisi pemerintahan yang berazaskan ide ‘kepercayaan’ (trusteeship), yaitu Sarawak merupakan milik penduduk pribuminya dan Rajah memerintah bagi pihak dan untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu kepentingan rakyat pribumi diutamakan, institusi-institusi baru dibentuk agar masyarakat pribumi dapat menyalurkan sumbangan pemikiran  dan pandangannya terhadap jalannya pemerintahan. Selain itu demi menjaga cara hidup dan adat istiadat masyarakat pribumi, setiap perubahan harus dilakukan secara perlahan-lahan, tidak boleh dilakukan secara radikal.   Ia juga menghormati dan mengekalkan undang-undang dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan undang-undang Barat. Ketua-Ketua Melayu, terutama Datu-Datu di Kuching dilibatkan dalam pengambilan keputusan semua urusan yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan kerajaan negeri. James Brooke selalu berusaha mencari dan mendapatkan nasehat dan kerjasama dari Datu-Datu ini.  Pada awalnya terdapat tiga orang Datu Sarawak dalam Kesultanan Brunai. Mereka ialah Datu Patinggi (ketua Datu-Datu), Datu Bandar(Ketua Pelabuhan),  dan Datu Temenggung (Panglima Tertinggi).  Bagi kepentingan pemerintahannya, James Brooke melantik dua orang Datu lagi , yaitu Datu Imam (ketua agama dalam masyarakat muslim) dan Datu Hakim (ketua hakim Melayu).
            Salah satu corak penyertaan mereka (para datu ini) dalam pemerintahan Brooke adalah sebagai anggota Majelis Tertinggi bersama-sama dengan tiga pegawai sipil Eropa dan Rajah. Majelis Tertingi ini dibentuk oleh James Brooke pada tanggal 27 Oktober 1855. Majelis ini bersidang sekurang-kurangnya sebulan sekali untuk membicarakan semua hal penting yang berkaitan dengan kebijakan dan pemerintahan negeri. Majelis ini diberikan kekuasaan untuk memberi nasehat apabila diminta oleh Rajah. Di samping sebagai anggota Majelis Tertinggi,Datu-Datu bersama-sama dengan pegawai pribumi juga menjadi anggota Majelis Negeri. Majelis ini dibentuk oleh Charles Brooke pada tahun 1865 bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara pegawai daerah dan pemimpin pribumi dengan kerajaan pusat. Mereka mengadakan pertemuan setiap tiga tahun dan membicarakan dasar-dasar umum kerajaan. Dengan mengumpulkan pegawai-pegawai di Kuching, Brooke mencoba mendorong mereka membangkitkan satu ‘identitas’ dan penyertaan dalam segala aspek kerajaan pusat. Dengan menwujudkan kesadaran sedemikian di kalangan mereka, Brooke berhasil mendapatkan kepercayaan dan kerjasama mereka.

Peranan Ketua Melayu Islam dalam Pemerintahan Sarawak

            Seringkali dikatakan bahwa hanya pada masa pemerintahan Rajah Pertama, ketua-ketua Melayu Islam diberi peranan dalam pemerintahan. Ini mungkin benar dalam kasus Datu-Datu Melayu Kuching, ketika kekuasaan pemerintah telah mantap, terutama pada masa kekuasaan Charles peranan para Datu-Datu di Kuching agak mulai berkurang. Hal ini terlihat dari peranan mereka di Majelis Negeri hanya dianggap sebagai lambang saja, fungsi mereka hanya  menjadi sumber keabsahan terhadap kepemimpinan Rajah..
            Namun meredupnya peranan para Datu-Datu di Kuching tidak terjadi pada ketua-ketua Melayu di peringkat daerah (di luar Kuching), mereka terus memainkan peranan yang penting dalam pemerintahan di daerah dan wilayah pedalaman. Charles Brooke tidak menghadapi masalah keamanan seperti yang dialami James Brooke pada masa awal pemerintahannya. Oleh sebab itu, Charles tidak begitu bergantung pada Datu-Datu Melayu Kuching untuk mendapatkan dukungan. Pada masa pemerintahannya, peranan pegawai daerah menjadi semakin penting, bukan hanya dalam konteks jumlah (semakin bertambahnya pos-pos pemerintahan daerah yang dibentuk), tetapi karena mereka juga umumnya berperan sebagai pembantu Residen. Mereka seringkali diberi tanggung jawab yang cukup besar dalam jabatan kerajaan di wilayah mereka. Mereka berperan lebih daripada hanya sebagai penasehat seperti Datu-datu Melayu Kuching, di sampng menjadi panglima tingkat rendah dalam ekspedisi menghukum  orang-orang Iban yang menentang James Brooke.
            Charles Brooke memerintah Sarawak selama hampir setengah abad (1868-1917). Dalam jangka waktu yang panjang itu ia telah menjalankan banyak melakukan perubahan-perubahan penting dalam struktur pemerintahan di Sarawak.
Pada tahun 1890 untuk memudahkan administrasi  pemerintahan, Charles Brooke membagi negeri Sarawak pada lima bagian  berdasarkan lembah lembah sungai. Bagian Pertama (Sarawak, Sadong, Samarahan) dengan ibu kota Kuching ; Bagian Kedua (Lupar, Saribas, Krian) dgn ibu kota Simanggang; Bagian Ketiga (Rejang, Igan, Oya, Mukah, Balingian, Bintulu) dengan ibu kota Sibu; Bagian Keempat (Baram, Tinjar) dengan ibu kota Marudi; Bagian Kelima (Limbang, Trusan, Lawas) dengan ibu kota Lawas. Setiap Bagian dipimpin oleh seorang Residen dengan dibantu oleh seorang pembantu Residen yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Setiap bagian di bagi lagi dalam beberapa ‘Daerah’; setiap daerah dipimpin oleh seorang Pegawai Daerah.  Jabatan Residen, Pembantu Residen dan Pegawai Daerah dipegang oleh orang Eropa. Setiap Pegawai Daerah dibantu oleh seorang atau dua orang pegawai pribumi yang biasanya terdiri dari orang Melayu (Ketua Melayu lokal).
Ketika seorang ketua masyarakat lokal di lantik, biasanya mereka akan terus tinggal di tempatnya dan tidak pernah dipindahkan keluar dari daerahnya. Karena pengetahuan mereka tentang hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat setempat sangat diperlukan  oleh Residen-Residen. Untuk setiap bagian, biasanya terdapat seorang pegawai pribumi utama, dan biasanya jabatan ini dipegang oleh Ketua Melayu Muslim yang paling berpengalaman dan dipercaya. Setelah dilantik mereka jarang diganti sampai meninggal dunia.
Pegawai-pegawai pribumi lokal di tingkat daerah  ini dianggap sebagai orang yang budiman seperti pegawai-pegawai Eropa “as with a European so with a native, the man well born and well to do takes a great pride in his work, if he has pride in himself and a character to lose”. Para pegawai daerah dan pegawai pribumi lokal merupakan agen kerajaan yang berhadapan langsung dengan rakyat yang terdiri dari berbagai golongan etnis pribumi dan masyarakat Cina . Oleh karena itu penyertaan kalangan pribumi setempat terutama kelompok Melayu Islam dapat memperkokoh dukungan mereka terhadap kekuasaan keluarga Brooke, di samping itu pengetahuan mereka tentang masyarakat setempat sangat diperlukan pemerintah . Menurut pendapat Brooke, penting bagi pegawai Eropa mendengarkan pendapat pegawai pribumi  .Menurut Charles Brooke, bangsawan Melayu Islam sangat cocok sebagai brirokrat.. Namun demikian, ia juga tetap memastikan bahwa pegawai pribumi harus tetap mentaati Residen atau Pegawai Daerah Eropa.
Kebanyakan pegawai pribumi berasal dari keluarga Melayu Islam yang terpandang, Charles Brooke, meyakini bahwa pemimpin tradisional, pegawai pribumi Muslim yang berpangkat tinggi dapat membangkitkan rasa hormat dan takut orang Iban. Dengan memperkenalkan dan membiasakan golongan bangsawan dalam pemrintahan, Charles brooke telah meningkatkan kemampuan mereka memahami birokrasi pemerintahan modern . Ia juga mengharapkan agar golongan bangsawan yang terlibat dalam pemerintahan lebih mendalami undang-undang Islam, bahasa Iban dan undang-undang adat. Mereka ditugaskan untuk memberikan laporan pada Residen-Residen yang baru dilantik untuk memberitahu mereka tentang adat-istiadat dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat setempat. Kadangkala, ketika Charles Brooke campur tangan dalam urusan pemerintahan local di bagian kedua, ia lebih mendengar nasehat ketua pribumi daripada Residennya.
Dalam bukunya Rajah’s Servant, A.B. Ward telah menjelaskan peranan pribumi yang seperti ini jauh lebih bermakna dibanding peranan Datu-Datu Melayu di Kucing yang duduk di Majelis Tertinggi  yang hanya berfungsi sebagai ‘lambang seremonial’ . Pegawai pribumi di tingkat daerah memiliki peran yang sangat besar terhadap kelancaran jalannya pemerintahan. Karena sebagai pegawai pemerintah di daerah, tugas mereka sangat banyak antara lain, memberikan pengetahuan   pada pegawai Eropa tentang kondisi lokal, pekerjaan pengadilan, sebagai pemimpin dalam ekspedisi menghukum orang-orang Iban yang masih menentang pemerintah dan kadang-kadang para pegawai pribumi ini  juga memegang jabatan di wilayah-wilayah yang jarang diawasi oleh pemerintah, di daerah kecil yang penting seperti Betong dan jabatan perbatasan seperti Lubuk Antu.
Charles meyakini bahwa sistem yang cocok untuk memerintah masyarakat yang sangat majemuk  dari segi etnis adalah dengan memberikan kekuasaan pemerintahan di tingkat lokal pada ketua masyarakat setempat. Misalnya, dalam masyarakat Melayu dan Melanau di kawasan pesisir, salah seorang dari ketua masyarakat setempat yang lebih tua dan berpengaruh dilantik sebagai ketua kampung oleh Rajah atas petunjuk Pegawai daerah. Tugas Ketua Kampung ini adalah menyelesaikan setiap perselisihan kecil, memungut pajak, memelihara undang-undang dan aturan dalam kampungnya, kadangkala juga bertanggung jawab untuk memanggil polisi di dari ibukota wilayah bagiannya  apabila tidak dapat menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungjawabnya. Selain itu  menjadi tugas ketua kampung untuk memberi nasehat pada  Pegawai Daerah terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang melibatkan penduduk kampungnya, dan menjadi juru bicara untuk kepentingan kampungnya. Ketua kampung ini tidak diberi gaji, oleh sebab itu ia diperbolehkan mengambil 10% dari pajak yang ia ambil sebagai upah. Penghulu-Penghulu yang lebih tinggi kekuasannya dari ketua kampung biasanya merupakan pribumi bukan Melayu Islam. Seorang penghulu biasanya bertanggung jawab pada satu atau lebih kampung selain kampungnya sendiri. Seperti ketua kampung, para penghulu ini dilantik oleh Rajah atas petunjuk Pedawai Daerah. Tugas seorang Penghulu biasanya memelihara undang-undang dan peraturan dan  mengadili kasus kriminal juga kasus kecil. Ia juga bertugas memungut pajak pintu, dan juga diberi wewenang untuk membebaskan seseorang terutama orang tua dan orang yang sakit dari kewajiban membayar cukai pintu. Penghulu juga bertanggung jawab membentuk pasukan apabila diperlukan oleh Rajah dan harus ikut menyertai ekspedisi sebagai panglimanya.
Di tingkat daerah, walaupun Charles Brroke mengakui bangsawan Melayu tradisional setempat dari kawasan-kawasan sungai sebagai kelas pemerintah yang asli tetapi dalam beberapa kasus tertentu apabila keadaan setempat yang berbeda dari pola umum, Charles Brooke tidak ragu-ragu untuk melantik pribumi bukan Islam sebagai Pegawai Lokal (Anak Negeri) Daerah.. Hal ini terlihat dalam kasus pemimpin Iban seperti Nanang, Insol dan Ringkai dari Saribas. Bahkan Charles Brooke menganggap Nanang sebagai elit pribumi Sarawak dan menjadikannya anggota Majelis Negeri. Keadaan ini juga berlaku pada Ringkai yang diberi gelar Pengarah pada tahun 1882. Beliau juga dilantik sebagai anggota Majelis Negeri. Pada hakekatnya Ringka adalah Ketua masyarakat lokal/Anak Negeri bukan muslim yang pertama yang namanya terdaftar dalam daftar gaji tahun 1900. Kesemua pegawai lain dalam daftar itu adalah Ketua Anak Negeri Melayu Islam.
Di sampng faktor yang dibicarakan diatas, kebijakan menyertakan masyarakat pribumi terutama golongan Melayu Islam dalam pemerintahan berdasarapa sebab. Walau ada juga yang mengatakan karena keluarga Brooke tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik. Dengan mengambil mereka, Keluarga Brooke telah melakukan penghematan dari segi  tenaga manusia, uang dan yang paling penting ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat setempat. Malahan dengan mengandalkan mereka secara terus menerus, Kerajaan Sarawak dapat menyimpan uang tabungan yang cukup banyak. Misalnya pada tahun 1880, sebuah surat khabar Singapura mendapati bahwa pemerintahan Brooke membelajakan kurang dari seringgit seorang penduduknya berbanding dengan $6.00 hingga $19.46 untuk beberapa negeri di Tanah Melayu.
Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa keterlibatan orang melayu Islam dalam pemerintahan keluarga Brooke dapat dilihat dalam tiga peringkat/tingkat. Datu-Datu Melayu Kuching memainkan peranan dalam tingkat pemerintahan paling atas (pusat), terutama masa awal pemerintahan James Brooke. Tetapi peranan mereka perlahan-lahan mulai berkurang dan akhirnya menjadi satu upacara saja pada jaman Charles dan Vyner. Sebaliknya , pegawai golongan menengah  di daerah (bagian wilayah) sebagai Pegawai Anak Negeri (local) menjadi bertambah penting dalam pemerintahan Brooke, mereka bukan saja penting dalam konteksnya jumlahnya yang cukup banyak dalam beberapa kawasan , tetapi juga kadang-kadang mereka memegang jabatan yang biasanya dipegang oleh orang Eropa, karena mereka dianggap paling mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wilayahsetempat.Di tingkat paling bawah adalah kategori ketiga, yaitu ketua kampung yang biasanya menyertai  pemerintahan lokal. Mereka juga memainkan peranan penting mengurusi hal-hak setempat sesuai dengan adat istiadat rakyatnya.
Karena Brooke tidak mampu dan juga enggan membawa pegawai Eropa, pemerintahan Sarawak sebagian besar bergantung pada pegawai pribumi lokal. Dengan jumlah pegawai Eropa yang sangat kecil membuat pemerintah sangat bergantung  pada kerjasama dengan pegawai pribumi. Meskipun sebenarnya peranan baru  ketua masyarakat pribumi dalam pemerintahan sebenarnya menjadi terbatas. Jika sebelumnya para ketua masyarakat pribumi ini memiliki peran ganda baik sebagai ketua masyarakat yang memiliki kekuasaan dan juga melakukan peran pedagang. Pada masa kekuasaan keuarga Brooke para ketua masyarakat pribumi yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dilarang ikut terlibat dalam perdagangan. Hal ini mengikut konsep politik barat yaitu siapa yang memerintah sebaiknya tidak terlibat dalam perdagangan. “Rules did not soil their hands in trade”.
Walau bagaimanapun hubungan yang erat dengan pemerintahan itu sekurang-kurangnya telah memberikan sedikit pengalaman kepada ketua-ketua Melayu Islam dan memberikan mereka pemahaman tentang kesadaran politik dan pengetahuan umum mengenai administrasi pemerintahan.

Peran masyarakat Pribumi Melayu di  British North Borneo Company (BNBC)

            Di Sabah, pada masa yang sama penyertaan orang Melayu Islam dalam politik dan pemerintahan agak sedikit berbeda dengan kasus berlaku di Sarawak. Perbedaan ini dapat dilihat dalam konteks penyertaan mereka dalam kerajaan. Di Sabah, penyertaan orang Melayu Islam terbatas pada tingkat lokal saja, sedangkan di Sarawak keterlibatan orang Melayu Islam ada di tingkat pusat dan tingkat daerah.
            Pada masa (1881-941), Sabah (Kalimantan Utara) di perintah oleh Syarikat Dagang Inggris Kalimantan Utara (BNBC). Walaupun BNBC baru mendapat pengesahan sebagai penguasa di Kalimantan Utara dari kerjaan Inggris (Royal Charter) pada tahun 1881, tetapi pelopor pemerintahannya seperti William Pretyman, H.L.Leicester dan William Pryer telah berada di Sarawak sejak tahun 1878. Untuk mengimbangi kekuarangan pengaruhnya di Borneo semasa menunggu pengesahan dari kerajaan Inggris Sarikat Dent membentuk tiga pusat pemerintaha di Tempasuk, Papar dan kampung Serman (Sandakan).
            Di Sabah, diantara ketiga orang Residen yang dilantik oleh BNBC, Pretyman, Leicester dan Pryer, pada tahun 1878, Pryer dianggap sebagai Residen yang paling berhasil mendapat dukungan dari masyarakat pribumi setempat. Dari sejak permulaan kedatangannya, Pryer sering mengunjungi daerah-daerah dan melawat Ketua-ketua masayarakat lokal untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat di sana dan juga untuk membicarakan kasus-kasus yang ada. Pryer dianggap berhasil membangun Sandakan bersama-sama dengan ketua-ketua masyarakat lokal dan para ketua kampungnya. Tanpa dukungan dari rakyat dan ketua nya, tidak mungkin untuk Pryer dapat memerintah kawasan ini hanya dibantu oleh dua orang pembantu yang terdiri dari seorang Afrika dan seorang India.
Pada periode awal pemerintahan Pryer (Sandakan ), Pretyman (di Tempasuk) , Leicester (Papar), ketua-ketua Pribumi tidak digabungkan sebagai pegawai yang mendapat gaji. Para pegawai pribumi ini tetap menjalankannya perannya di pengadilan, memelihara keamanan, memungut pajak atas dasar komisi seperti pada masa lalu. Dengan mengekalkan struktur institusi pribumi yang tradisional, ketiga orang Residen ini dapat memelihara dan mengukuhkan kedudukan mereka.
Di bawah pemerintahan BNBC yang dimulai pada tahun 1881 sampai dengan 1941 . Pembentukan BNBC ditandai dengan dilantiknya seorang Gubernur untuk wilayah Sabah, keperluan untuk mendapatkan dukungan dari kalangan pribumi dilakukan dengan mengekalkan  azas institusi pribumi yang tradisional .Institusi Pribumi yang utama yang digabungkan ke dalam pemerintahan BNBC adalah institusi Ketua Anak Negeri (masyarakat pribumi), Ketua Kampung dan Mahkamah Anak Negeri (lokal). Dasar BNBC memerintah daerah yang cukup luas dan sedang berkembang dengan hanya memperkerjakan sejumlah kecil pegawai Eropa, mengakibatkan ketergantungan pemerintah BNBC yang besar kepada Ketua Kampung setempat. Untuk menjamin kecakapan dan penguasaan yang baik, pihak BNBC telah membagi ketua-ketua itu pada ketua yang diakui dan yang tidak diakui. Pemilihan dibuat berdasarkan pengaruh dan kekuatan seseorang ketua. Ketua yang diakui akan diberi gelar  Ketua Anak Negeri dan digabungkan dalam pemerintahan BNBC.  Kemudian Ketua Anak Negeri ini di bagi pula pada Ketua Anak Negeri yang digaji dengan Ketua Anak Negeri yang tidak diberi gaji. Pada teorinya , tugas Ketua Anak negeri yang diberi gaji adalah memelihara keamanan dan peraturan, memungut pajak, dan memegang wewenang pengadilan di wilayahnya.
Selanjutnya setelah Ketua Anak Negeri, institusi yang yang diakui adalah Ketua Kampung. Ketua Kampung yang diakui oleh pemerintah menerima bayaran antara $3.00 sampai $5.00 sebulan sebagai upah. Kedudukan Ketua Kampung telah diakui pada tahun 1891 dalam akta ‘village Administration Proclamation’. Tujuannya adalah untuk mengatur kedudukan  dan peranan Ketua Kampung. Ketua Kampung yang terbaik biasanya memainkan  peranan penting sebagai  Pengadil Anak Negeri mengawasi daerahnya, membantu memungut pajak dan melaksanakan kerja seorang Pegawai daerah di wilayah pedalaman.
Pada tahun 1910, Gubernur BNBC Sir West Ridgeway  membuat undang-undang tentang Ketua Anak Negeri. Pembuatan undang-undang ini telah membawa pemerintahan BNBC  kepada proses birokrasi yang lebih jelas. Dalam undang-undang tersebut, Ketua Anak Negeri dibagi dalam 2 kategori yaitu tingkat (Gred)1,dan  tingkat 2, kriteria pemilihannya  didasarkan pada pengaruh, kepandaian dan prestasi kerja masa lalu. Oleh sebab itu para ketua ini diharuskan menyimpan catatan kasus-kasus pribumi, pemulangan pajak kepala dan pemindahan kepemilikan tanah, kemampuan membaca dan menulis menjadi kriteria penting dalam pemilihan itu. Ketua Gred /tingkat 1 menjadi Ketua Daerah, sedangkan Ketua tingkat 2  wakil bagi Ketua Daerah kecil.
Di samping membagi Ketua Anak negeri pada dua kategori, Ridgeway juga menggantikan Majelis Penasehat yang lama dengan Majelis Undangan pada tahun 1912. Majelis baru ini anggotanya terdiri dari 7 orang anggota resmi dan 4 orang anggota tidak resmi yang mewakili dan masyarakat Asia, peladang dari kawasan pantai timur dan Barat dan golongan pedagang. Meskipun dikatakan bahwa dalam Majelis ini terdapat anggota tidak resmi yang mewakili masyarakat Asia, tetapi tidak terdapat seorangpun wakil pribumi. Tidak dilibatkannya wakil pribumi dalam lembaga ini menurut  BNBC adalah kepentingan masyarakat pribumi  bisa diwakili  kepemimpinan Gubernur dan anggota resmi Majelis Undangan.
Kelompok Pribumi hanya memiliki perwakilan dalam Majelis Penasehat untuk hal –hal yang berkaitan dengan masalah pribumi yang dibentuk pada tahun 1887. Walapun sebenarnya lembaga ini hanya nama saja, karena tidak memiliki makna dan tidak pernah berfungsi.   Barulah pada tahun 1915 ketika  C.W.C Parr menjadi Gubernur, Majelis ini berganti nama menjadi Majelis Penasehat Ketua Anak Negeri (Native Chiefs Advisory Council-NCAC). Tujuan pembentukan Majelis ini adalah untuk meningkatkan kepandaian dan keahlian ketua-ketua pribumi. Majelis ini beranggotakan semua Ketua Anak Negeri tingkat 1 yang dilantik oleh Gubernur dengan gelar Orang Kaya. Diantara 9 orang Ketua Anak negeri yang dilantik dalam Majelis, 8 diantaranya mewakili masyarakat Melayu Islam dan 1 orang lagi mewakili masayarakat Dusun. Pada tahun 1916 wakil orang Dusun ditambah menjadi 2 orang. Keanggotaan Anak Negeri di dalam NCAC adalah tetap kecuali meletakan jabatan atau di pecat oleh Gubernur. Di samping Ketua Anak Negeri, NCAC juga beranggotakan Gubernur sebagai Ketua, Sekretaris kerajaan dan residen Pantai Barat dan Timur. Fungsi NCAC adalah memberi nasehat dan Majelis ini tidak mempunyai kekuasaan membuat dan mengubah undang-undang.
Oleh sebab Majelis tidak mempunyai kekuasaan membuat undang-undang, maka keputusan-keputusan yang dihasilkan dari sidang-sidang NCAC hanya tinggal sebagai keputusan saja kecuali jika di setujui dan dilaksanakan oleh kerajaan.
Di samping menjadi dasar bagi ketua Anak Negeri untuk membicarakan masalah masyarakat pribumi  dan mengajukan usulan, NCAC juga menjadi tempat bagi Gubernur untuk mendapatkan dukungan moral terhadap undang-undang yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Pembentukan pemerintahan BNBC, membawa satu bentuk baru dalam penyertaan politik dan hubungan baru antara ketua-ketua masyarakat setempat dan BNBC. Sebagai seorang pegawai pemerintah mencontoh sistem Barat, para ketua-ketua pribumi ini diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perturan pemerintahan baru, dan tidak boleh mempunyai kepentingan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangakan di bawah sistem tradisional mereka pada masa Kesultanan  dahulu  ikatan politik ‘feodal’ berdasarkan hubungan ‘menopang’ antar  pribadi atasan bawahan dengan Datu, pengikut dengan ‘hamba’ mereka. Dalam masa peralihan ini, pada tahun 1890-an, para pegawai pribumi BNBC yang diberi gaji menghadapi dilema memilih antara dua aturan norma tersebut. Kadangkala pemberian gaji tidak dapat menjamin ketaatan penuh pada pemerintah BNBC. Pada awalnya, pihak BNBC tidak terlalu ketat kriterianya dalam memilih para  ketua pribumi yang bergabung dalam pemerintahan, Namun ketika pemerintah BNBC telah cukup kuat  dan sudah tidak terlalu mengandalkan dukungan pada pemimpin lama, pihak BNBC mulai memilih para ketua pribumi berdasarkan dengan kriteria yang diharapkan oleh mereka., meskipun ketua-ketua tersebut tidak di akui sebagai pemimpin tradisional. Pemilihan seperti ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin ketaatan dan kesetiaan ketua-ketua tersebut untuk menghindari terjadinya pertentangan kepentingan. Misalnya , Gubernur Birch (1901-1904) mulai melantik ketua-ketua yang dianggap layak menurut kriteria Eropa dibandingkan ketua-ketua lain pada jaman  pra-BNBC.

Penutup

            Pada satu hal tertentu ada kemiripan antara pemerintahan Brooke di Sarawak dengan BNBC di Sabah, terutama ketua-ketua masyarakat pribumi di kedua wilayah ini tidak lagi memperoleh pendapatan mereka dari hak monopoli yang telah dijalankan selama berabad-abad, tetapi menerima gaji dari kerajaan seperti pegawai yang lain. Selain itu , kedua pemerintahan tersebut tetap mengekalkan institusi-institusi pribumi yang telah ada bahkan institusi ini mereka gunakan untuk mendukung kegiatan pemerintahan mereka.  Di Sarawak, James Brooke menggunakan elit tradisional untuk memelihara pemerintahan dan mengukuhkan kekuasaannya. .James Brooke menggabungkan Jabatan datu Melayu ke dalam peringkat kerajaan yang lebih tinggi dalam Majelis , melibatkan para ketua Melayu lokal (Anak Negeri) dalam pemerintahan di tingkat Daerah dan Kampung. Rajah Brooke menempatkan dirinya dalam struktur Melayu seperti yang ada di kalangan orang Melayu di Semenanjung. Pandangan ini dapat dihubungkan dengan konsep raja dalam masyarakat Melayu  karena Rajah Brooke itu juga berfungsi sebagai sultan. Untuk memelihara dan menjamin kedudukannya, James Brooke rajah putih pertama tetap mengekalkan elit tradisional  dan mengakuinya sebagai pemimpin kelompok masyarakat lokal meskipun kekuasaan mereka mulai di batasi. Kedudukan mereka tidak lebih daripada pegawai pemerintahan sipil yang biasa menerima gaji tetap sebagai ganti pemungutan hasil tahunan dari orang Melayu dan Dayak setempat.
            Di sabah, pola kepemimpinan yang telah ada pada masa Kesultanan Brunai dan Sulu tidak di ikuti sepenuhnya oleh BNBC. Karena,di sabah Ketua Anak Negeri sudah terpecah-pecah diantara mereka dan kedudukan/status mereka tidak sekukuh Ketua Anak Negeri Sarawak. Kebanyakan Datu dan Ketua di Sarawak adalah orang setempat (asli Sarawak). James Brooke menempatkan semula kedudukan mereka dan menonjolkan kemartaban mereka dengan tujuan untuk menentang ketua-ketua Brunai, seperti para pangeran atau Syarif yang dianggap Brooke sebagai musuh mereka. Di Sabah pihak BNBC tidak menghadapi banyak pertentangan daripada Pangeran Brunai atau datu Sulu. Pada awal pemerintahan BNBC, ketiga orang pelopor pemerintahan  (Pryer, Leicester dan Pretyman) khususnya Pryer, menggunakan Ketua Anak Negeri dan Ketua kampung pada tahap tertentu untuk memerintah masyarakat pribumi dengan sangat bagus. Dasar ini di teruskan ketika pihak BNBC menggabungkan banyak Ketua Pribumi Islam dalam pemerintahannya. Ketua Anak Negeri bertugas di tingkat negeri melalui NCAC. Walau sebenarnya fungsi utama mereka lebih berperan di tingkat lokal melalui institusi pribumi tradisional seperti Mahkamah, Ketua Anak Negeri dan Ketua Kampung. Ketiga institusi ini tetap dikekalkan pada masa pemerintahan BNBC.

Linda Sunarti, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah pada Program Pascasarjana  Universitas Indonesia. lindsayrani@yahoo.co.uk

No comments:

Post a Comment

Coretan Pertama 2021

 Tanpa disedari sudah lama rasanya berada dalam situasi pandemik disebabkan Covid-19. semua aktiviti seakan-akan terhenti lantaran kerisauan...