How to Share With Just Friends

How to share with just friends.

Posted by Facebook on Friday, December 5, 2014

Wednesday, March 09, 2016

Peranan Orang Melayu dalam Pemerintahan Sarawak dan Sabah pada abad ke-19



oleh: Linda Sunarti

            Tulisan ini membahas tentang peranan orang Melayu Islam pada masa pemerintahan keluarga Brooke di Sarawak  dan pada masa pemerintahan Syarikat Dagang Inggris Kalimantan Utara (British North Borneo Chartered Company/BNBC) di Sabah.  Dalam konteks tulisan ini istilah “Melayu Islam”perlu dijelaskan. Di Sarawak , istilah Melayu menjelaskan tentang kelompok Melayu Islam dan Melanau yang menganut agama Islam, bertutur dialek Melayu, dan mengamalkan adat istiadat Melayu. Di Sabah istilah ini merujuk pada kelompok berikut: Orang Melayu Brunai, Bajau, Kedayan, Balangnini, Bisaya, Idaan, Illanun dan Sulu.  Perlu juga dijelaskan, bahwa Syarikat dagang Inggris Kalimantan Utara atau BNBC tidak menggunakan istilah Melayu; BNBC menyebut nama setiap kelompok pribumi asli dengan nama etnis masing-masing.  Di kedua wilayah ini, orang Melayu Islam merupakan kelompok minoritas. Di Sarawak pada tahun 1840-an orang Melayu Islam hanya berjumlah 32% dari keseluruhan jumlah penduduk Sarawak, sedangkan di Sabah pada tahun 1880-an , orang Melayu Islam hanya berjumlah 35% berbanding dari keseluruhan jumlah penduduk Sabah.
            Pembahasan dalam tulisan ini dimulai dari era dimana kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Brunai. Dengan menelaah kembali peranan Orang Melayu Islam pada masa Kesultanan Brunai, kita dapat melihat proses kesinambungan dan perubahan peran mereka dalam pemerintahan Sarawak pada era keluarga Brooke dan pemerintahan Sabah pada era BNBC. Walaupun  hanya sebagai kelompok minoritas di kedua wilayah tersebut, tetapi orang Melayu Islam  menguasai hampir 75% jabatan dalam pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan BNBC di Sabah  dan keluarga Brooke di Sarawak tetap menggunakan dan melibatkan Orang Melayu Islam dalam pemerintahan. Di Sarawak , James Brooke tetap mengekalkan sistem  Datu-Datu Melayu Sarawak dan melibatkan mereka dalam pemerintahan pusat yang berkedudukan di Kuching.
Faktor lain yang menyebabkan kerterlibatan mereka dalam pemerintahan yang baru adalah pengaruh agama Islam  yang positif  dan kedudukan geografis mereka, dimana hampir sebagian besar orang-orang Melayu Islam tinggal di muara-muara sungai, hal ini sangat  menguntungkan posisi mereka, karena mereka dapat mengawal lalu lintas perdagangan , selain itu  memudahkan mereka berhubungan dengan dunia luar.
            Di kedua wilayah tersebut, peranan politik orang Melayu Islam melebihi peranan mereka di bidang ekonomi. Namun , peranan politik orang Melayu Islam di Sarawak lebih menonjol dibandingkan orang Melayu Islam di Sabah, karena di Sarawak orang Melayu terlibat dalam pemerintahan di tingkat  pusat dan lokal  sedangkan di Sabah penyertaan orang Melayu hanya pada tingkat lokal.
           
Keterlibatan Ketua Melayu Islam dalam Pemerintahan Sarawak pada Masa Kesultanan Brunai
Orang Melayu Islam di Sarawak telah ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan politik Kesultanan Brunai  sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19. Mereka juga berperan aktif di  bidang perdagangan. Pada masa itu Sarawak adalah bagian dari wilayah Kesultanan Brunai. Ketika Brunai meluaskan wilayah kekuasaannya ke kawasan lembah-lembah sungai di barat laut Kalimantan pada abad ke-18, di muara –muara sungai tersebut diperintah oleh golongan bangsawan atau pangeran.
. Di Sarawak misalnya, pada setiap sistem sungai terdapat seorang ketua Melayu Islam. Mereka biasanya menguasai dan mengawal muara sungai yang strategis, oleh karena itu sebagian  besar tempat tinggal  mereka terletak di kawasan pantai. Setiap Ketua Melayu Islam menganggap diri mereka sebagai pemimpin bagi semua kelompok yang tinggal di sepanjang sungai tersebut. Namun pada masa itu, biasanya kekuasaan seorang Ketua Masyarakat  terhadap kawasan pedalaman di sepanjang sungai tersebut berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Kekuasaan Pemimpin-pemimpin Melayu tersebut biasanya tergantung pada kharisma individu, keahlian, dan  kemampuannya mengawal perdagangan yang keluar masuk di sepanjang sungai tersebut. Pada masa itu hampir semua golongan bangsawan Melayu Islam  berharap dapat berperan sebagai pedagang dan juga penguasa, terlebih pada waktu itu tidak ada batas yang jelas antara fungsi perdagangan dan politik dalam sistem nilai tradisional.
            Ketika James Brooke tiba di Sarawak pada tahun 1839, wilayah tersebut diperintah oleh Pangeran Mahkota.  Pangeran Mahkota telah dilantik beberapa kali diantara tahun 1824 dan 1830. Pada masa itu bangsawan setempat (bangsawan asli penduduk Sarawak) dan para pengikutnya tinggalnya di Lidah Tanah, bukan di Kuching. Lidah Tanah merupakan pusat pertemuan dua  cabang sungai Sarawak dan menjadi pusat perdagangan masyarakat lokal yang cukup penting. Lokasi tempat ini  sangat strategis karena dapat mengawasi perdagangan sungai dengan orang dayak di hulu sungai.
            Ketika Pangeran Mahkota tiba di Sarawak pada akhir tahun 1820-an, ia mendirikan kota Kuching dan membangunnya sebagai kota pelabuhan, yang kemudian memiliki peranan penting dari segi politik dan strategi.  C.A Lockard menilai pembangunan kota Kuching dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat asli Sarawak yang tinggal di Lidah Tanah . Lockard berpendapat, kedatangan pangeran mahkota dan pengikutnya tidak disukai oleh elit Melayu lokal, mereka menganggap kedatangan Mahkota dapat mengurangi kekuasaan mereka.
            Kota Kuching yang  terletak di selatan tepi kawasan pantai yang berpaya sangat cocok dijadikan sebagai pusat kekuasaan Pangeran Mahkota. Lokasinya yang terletak pada pertemuan dua muara sungai  dan tidak jauh dari pusat penambangan bijih timah. Selain itu letaknya terlindung oleh bukit sehingga sangat ideal untuk sebuah kota karena tidak mudah diserang oleh musuh. Pemilihan Kuching sebagi pusat kekuasaan Pangeran Mahkota (bangsawan Brunai) karena mereka telah mengetahui harga bijih timah sangat tinggi di pasaran Singapura. Pertimbangan ini mempengaruhi Mahkota dan pengikutnya untuk membuka kawasan tambang timah dan menetap di Kuching. Oleh karena itu semasa James Brooke tiba , kota Kuching sudah didirikan oleh seorang putera raja Brunai
            Sebelum kedatangan Brooke, daerah-daerah lain di Sarawak, kecuali Saribas yang dikuasai oleh orang Iban, dipimpin oleh pemimpin Melayu Islam. Ketua Melayu Islam biasanya  menduduki dan mengawal muara sungai yang strategis, walaupun pengaruh mereka yang sesungguhnya pada penduduk di kawasan pedalaman berbeda dari satu tempat ke satu tempat yang lain. Brooke meyadari hal tersebut dan untuk melemahkan kekuasaan ketua Melayu Islam ini, Brooke  mengubah pola penempatan  tradisional mereka dengan menempatkan penduduk mengikut kelompok etnisnya. Brooke memindahkan masyarakat Melayu Islam ke satu wilayah yang lebih jauh dari hulu sungai dan menggunakan persaingan  antar etnis sebagai strategi untuk menguatkan kekuasaanya.
           
Peranan  Orang Melayu Islam dalam Politik pada masa Pemerintahan Keluarga Brooke
            Walaupun pengaruh ekonomi dan politik orang Melayu Islam sebagai kelompok yang dominan telah merosot setelah James Brooke mengambil alih Sarawak, tetapi mereka masih memegang peranan dalam pemerintahan pada masa pemerintahan Keluarga Brooke. Di bawah pemerintahan Brooke, khususnya James Brooke mereka tetap mendapat kedudukan yang istimewa, meskipun mereka terpaksa tunduk kepada Rajah Putih (The White Rajahs).
            Untuk menjamin kesetiaan masyarakat lokal, James Brooke  mempelajari institusi pribumi yang ada pada masa itu. Ia memberikan  memegang kekuasaan tertinggi di Sarawak, ia memberikan kelonggaran pada adat istiadat masyarakat lokal. Dari sejak awal pemerintahannya, pemerintahan Brooke sangat bergantung pada beberapa pegawai Eropa yang jumlahnya sangat sedikit, oleh karena itu peranan pegawai pribumi lokal sangat dibutuhkan .
             Pegawai-pegawai pribumi ini kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan Melayu Islam. Mereka dilantik di setiap daerah oleh Rajah Putih atas usul dari pegawai daerah. Pegawai-pegawai ini menerima gaji tetap. Mereka memainkan peranan penting dan menjadikan pemerintahan Brooke diakui di luar wilayah Kuching. Mereka inilah bertanggung jawab menjamin kelancaran jalannya pemerintahan.
            Selain itupun ia menyadari bahwa  pegawai pribumi  lebih memahami dan mengetahui kondisi masyarakat setempat. Dengan bekerjasama ketua –ketua masyarakat setempat, James Brooke dapat  menjalankan undang-undang dan aturan yang ia buat. Dasar yang dipelopori oleh  James Brooke adalah tradisi pemerintahan yang berazaskan ide ‘kepercayaan’ (trusteeship), yaitu Sarawak merupakan milik penduduk pribuminya dan Rajah memerintah bagi pihak dan untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu kepentingan rakyat pribumi diutamakan, institusi-institusi baru dibentuk agar masyarakat pribumi dapat menyalurkan sumbangan pemikiran  dan pandangannya terhadap jalannya pemerintahan. Selain itu demi menjaga cara hidup dan adat istiadat masyarakat pribumi, setiap perubahan harus dilakukan secara perlahan-lahan, tidak boleh dilakukan secara radikal.   Ia juga menghormati dan mengekalkan undang-undang dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan undang-undang Barat. Ketua-Ketua Melayu, terutama Datu-Datu di Kuching dilibatkan dalam pengambilan keputusan semua urusan yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan kerajaan negeri. James Brooke selalu berusaha mencari dan mendapatkan nasehat dan kerjasama dari Datu-Datu ini.  Pada awalnya terdapat tiga orang Datu Sarawak dalam Kesultanan Brunai. Mereka ialah Datu Patinggi (ketua Datu-Datu), Datu Bandar(Ketua Pelabuhan),  dan Datu Temenggung (Panglima Tertinggi).  Bagi kepentingan pemerintahannya, James Brooke melantik dua orang Datu lagi , yaitu Datu Imam (ketua agama dalam masyarakat muslim) dan Datu Hakim (ketua hakim Melayu).
            Salah satu corak penyertaan mereka (para datu ini) dalam pemerintahan Brooke adalah sebagai anggota Majelis Tertinggi bersama-sama dengan tiga pegawai sipil Eropa dan Rajah. Majelis Tertingi ini dibentuk oleh James Brooke pada tanggal 27 Oktober 1855. Majelis ini bersidang sekurang-kurangnya sebulan sekali untuk membicarakan semua hal penting yang berkaitan dengan kebijakan dan pemerintahan negeri. Majelis ini diberikan kekuasaan untuk memberi nasehat apabila diminta oleh Rajah. Di samping sebagai anggota Majelis Tertinggi,Datu-Datu bersama-sama dengan pegawai pribumi juga menjadi anggota Majelis Negeri. Majelis ini dibentuk oleh Charles Brooke pada tahun 1865 bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara pegawai daerah dan pemimpin pribumi dengan kerajaan pusat. Mereka mengadakan pertemuan setiap tiga tahun dan membicarakan dasar-dasar umum kerajaan. Dengan mengumpulkan pegawai-pegawai di Kuching, Brooke mencoba mendorong mereka membangkitkan satu ‘identitas’ dan penyertaan dalam segala aspek kerajaan pusat. Dengan menwujudkan kesadaran sedemikian di kalangan mereka, Brooke berhasil mendapatkan kepercayaan dan kerjasama mereka.

Peranan Ketua Melayu Islam dalam Pemerintahan Sarawak

            Seringkali dikatakan bahwa hanya pada masa pemerintahan Rajah Pertama, ketua-ketua Melayu Islam diberi peranan dalam pemerintahan. Ini mungkin benar dalam kasus Datu-Datu Melayu Kuching, ketika kekuasaan pemerintah telah mantap, terutama pada masa kekuasaan Charles peranan para Datu-Datu di Kuching agak mulai berkurang. Hal ini terlihat dari peranan mereka di Majelis Negeri hanya dianggap sebagai lambang saja, fungsi mereka hanya  menjadi sumber keabsahan terhadap kepemimpinan Rajah..
            Namun meredupnya peranan para Datu-Datu di Kuching tidak terjadi pada ketua-ketua Melayu di peringkat daerah (di luar Kuching), mereka terus memainkan peranan yang penting dalam pemerintahan di daerah dan wilayah pedalaman. Charles Brooke tidak menghadapi masalah keamanan seperti yang dialami James Brooke pada masa awal pemerintahannya. Oleh sebab itu, Charles tidak begitu bergantung pada Datu-Datu Melayu Kuching untuk mendapatkan dukungan. Pada masa pemerintahannya, peranan pegawai daerah menjadi semakin penting, bukan hanya dalam konteks jumlah (semakin bertambahnya pos-pos pemerintahan daerah yang dibentuk), tetapi karena mereka juga umumnya berperan sebagai pembantu Residen. Mereka seringkali diberi tanggung jawab yang cukup besar dalam jabatan kerajaan di wilayah mereka. Mereka berperan lebih daripada hanya sebagai penasehat seperti Datu-datu Melayu Kuching, di sampng menjadi panglima tingkat rendah dalam ekspedisi menghukum  orang-orang Iban yang menentang James Brooke.
            Charles Brooke memerintah Sarawak selama hampir setengah abad (1868-1917). Dalam jangka waktu yang panjang itu ia telah menjalankan banyak melakukan perubahan-perubahan penting dalam struktur pemerintahan di Sarawak.
Pada tahun 1890 untuk memudahkan administrasi  pemerintahan, Charles Brooke membagi negeri Sarawak pada lima bagian  berdasarkan lembah lembah sungai. Bagian Pertama (Sarawak, Sadong, Samarahan) dengan ibu kota Kuching ; Bagian Kedua (Lupar, Saribas, Krian) dgn ibu kota Simanggang; Bagian Ketiga (Rejang, Igan, Oya, Mukah, Balingian, Bintulu) dengan ibu kota Sibu; Bagian Keempat (Baram, Tinjar) dengan ibu kota Marudi; Bagian Kelima (Limbang, Trusan, Lawas) dengan ibu kota Lawas. Setiap Bagian dipimpin oleh seorang Residen dengan dibantu oleh seorang pembantu Residen yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Setiap bagian di bagi lagi dalam beberapa ‘Daerah’; setiap daerah dipimpin oleh seorang Pegawai Daerah.  Jabatan Residen, Pembantu Residen dan Pegawai Daerah dipegang oleh orang Eropa. Setiap Pegawai Daerah dibantu oleh seorang atau dua orang pegawai pribumi yang biasanya terdiri dari orang Melayu (Ketua Melayu lokal).
Ketika seorang ketua masyarakat lokal di lantik, biasanya mereka akan terus tinggal di tempatnya dan tidak pernah dipindahkan keluar dari daerahnya. Karena pengetahuan mereka tentang hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat setempat sangat diperlukan  oleh Residen-Residen. Untuk setiap bagian, biasanya terdapat seorang pegawai pribumi utama, dan biasanya jabatan ini dipegang oleh Ketua Melayu Muslim yang paling berpengalaman dan dipercaya. Setelah dilantik mereka jarang diganti sampai meninggal dunia.
Pegawai-pegawai pribumi lokal di tingkat daerah  ini dianggap sebagai orang yang budiman seperti pegawai-pegawai Eropa “as with a European so with a native, the man well born and well to do takes a great pride in his work, if he has pride in himself and a character to lose”. Para pegawai daerah dan pegawai pribumi lokal merupakan agen kerajaan yang berhadapan langsung dengan rakyat yang terdiri dari berbagai golongan etnis pribumi dan masyarakat Cina . Oleh karena itu penyertaan kalangan pribumi setempat terutama kelompok Melayu Islam dapat memperkokoh dukungan mereka terhadap kekuasaan keluarga Brooke, di samping itu pengetahuan mereka tentang masyarakat setempat sangat diperlukan pemerintah . Menurut pendapat Brooke, penting bagi pegawai Eropa mendengarkan pendapat pegawai pribumi  .Menurut Charles Brooke, bangsawan Melayu Islam sangat cocok sebagai brirokrat.. Namun demikian, ia juga tetap memastikan bahwa pegawai pribumi harus tetap mentaati Residen atau Pegawai Daerah Eropa.
Kebanyakan pegawai pribumi berasal dari keluarga Melayu Islam yang terpandang, Charles Brooke, meyakini bahwa pemimpin tradisional, pegawai pribumi Muslim yang berpangkat tinggi dapat membangkitkan rasa hormat dan takut orang Iban. Dengan memperkenalkan dan membiasakan golongan bangsawan dalam pemrintahan, Charles brooke telah meningkatkan kemampuan mereka memahami birokrasi pemerintahan modern . Ia juga mengharapkan agar golongan bangsawan yang terlibat dalam pemerintahan lebih mendalami undang-undang Islam, bahasa Iban dan undang-undang adat. Mereka ditugaskan untuk memberikan laporan pada Residen-Residen yang baru dilantik untuk memberitahu mereka tentang adat-istiadat dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat setempat. Kadangkala, ketika Charles Brooke campur tangan dalam urusan pemerintahan local di bagian kedua, ia lebih mendengar nasehat ketua pribumi daripada Residennya.
Dalam bukunya Rajah’s Servant, A.B. Ward telah menjelaskan peranan pribumi yang seperti ini jauh lebih bermakna dibanding peranan Datu-Datu Melayu di Kucing yang duduk di Majelis Tertinggi  yang hanya berfungsi sebagai ‘lambang seremonial’ . Pegawai pribumi di tingkat daerah memiliki peran yang sangat besar terhadap kelancaran jalannya pemerintahan. Karena sebagai pegawai pemerintah di daerah, tugas mereka sangat banyak antara lain, memberikan pengetahuan   pada pegawai Eropa tentang kondisi lokal, pekerjaan pengadilan, sebagai pemimpin dalam ekspedisi menghukum orang-orang Iban yang masih menentang pemerintah dan kadang-kadang para pegawai pribumi ini  juga memegang jabatan di wilayah-wilayah yang jarang diawasi oleh pemerintah, di daerah kecil yang penting seperti Betong dan jabatan perbatasan seperti Lubuk Antu.
Charles meyakini bahwa sistem yang cocok untuk memerintah masyarakat yang sangat majemuk  dari segi etnis adalah dengan memberikan kekuasaan pemerintahan di tingkat lokal pada ketua masyarakat setempat. Misalnya, dalam masyarakat Melayu dan Melanau di kawasan pesisir, salah seorang dari ketua masyarakat setempat yang lebih tua dan berpengaruh dilantik sebagai ketua kampung oleh Rajah atas petunjuk Pegawai daerah. Tugas Ketua Kampung ini adalah menyelesaikan setiap perselisihan kecil, memungut pajak, memelihara undang-undang dan aturan dalam kampungnya, kadangkala juga bertanggung jawab untuk memanggil polisi di dari ibukota wilayah bagiannya  apabila tidak dapat menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungjawabnya. Selain itu  menjadi tugas ketua kampung untuk memberi nasehat pada  Pegawai Daerah terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang melibatkan penduduk kampungnya, dan menjadi juru bicara untuk kepentingan kampungnya. Ketua kampung ini tidak diberi gaji, oleh sebab itu ia diperbolehkan mengambil 10% dari pajak yang ia ambil sebagai upah. Penghulu-Penghulu yang lebih tinggi kekuasannya dari ketua kampung biasanya merupakan pribumi bukan Melayu Islam. Seorang penghulu biasanya bertanggung jawab pada satu atau lebih kampung selain kampungnya sendiri. Seperti ketua kampung, para penghulu ini dilantik oleh Rajah atas petunjuk Pedawai Daerah. Tugas seorang Penghulu biasanya memelihara undang-undang dan peraturan dan  mengadili kasus kriminal juga kasus kecil. Ia juga bertugas memungut pajak pintu, dan juga diberi wewenang untuk membebaskan seseorang terutama orang tua dan orang yang sakit dari kewajiban membayar cukai pintu. Penghulu juga bertanggung jawab membentuk pasukan apabila diperlukan oleh Rajah dan harus ikut menyertai ekspedisi sebagai panglimanya.
Di tingkat daerah, walaupun Charles Brroke mengakui bangsawan Melayu tradisional setempat dari kawasan-kawasan sungai sebagai kelas pemerintah yang asli tetapi dalam beberapa kasus tertentu apabila keadaan setempat yang berbeda dari pola umum, Charles Brooke tidak ragu-ragu untuk melantik pribumi bukan Islam sebagai Pegawai Lokal (Anak Negeri) Daerah.. Hal ini terlihat dalam kasus pemimpin Iban seperti Nanang, Insol dan Ringkai dari Saribas. Bahkan Charles Brooke menganggap Nanang sebagai elit pribumi Sarawak dan menjadikannya anggota Majelis Negeri. Keadaan ini juga berlaku pada Ringkai yang diberi gelar Pengarah pada tahun 1882. Beliau juga dilantik sebagai anggota Majelis Negeri. Pada hakekatnya Ringka adalah Ketua masyarakat lokal/Anak Negeri bukan muslim yang pertama yang namanya terdaftar dalam daftar gaji tahun 1900. Kesemua pegawai lain dalam daftar itu adalah Ketua Anak Negeri Melayu Islam.
Di sampng faktor yang dibicarakan diatas, kebijakan menyertakan masyarakat pribumi terutama golongan Melayu Islam dalam pemerintahan berdasarapa sebab. Walau ada juga yang mengatakan karena keluarga Brooke tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik. Dengan mengambil mereka, Keluarga Brooke telah melakukan penghematan dari segi  tenaga manusia, uang dan yang paling penting ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat setempat. Malahan dengan mengandalkan mereka secara terus menerus, Kerajaan Sarawak dapat menyimpan uang tabungan yang cukup banyak. Misalnya pada tahun 1880, sebuah surat khabar Singapura mendapati bahwa pemerintahan Brooke membelajakan kurang dari seringgit seorang penduduknya berbanding dengan $6.00 hingga $19.46 untuk beberapa negeri di Tanah Melayu.
Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa keterlibatan orang melayu Islam dalam pemerintahan keluarga Brooke dapat dilihat dalam tiga peringkat/tingkat. Datu-Datu Melayu Kuching memainkan peranan dalam tingkat pemerintahan paling atas (pusat), terutama masa awal pemerintahan James Brooke. Tetapi peranan mereka perlahan-lahan mulai berkurang dan akhirnya menjadi satu upacara saja pada jaman Charles dan Vyner. Sebaliknya , pegawai golongan menengah  di daerah (bagian wilayah) sebagai Pegawai Anak Negeri (local) menjadi bertambah penting dalam pemerintahan Brooke, mereka bukan saja penting dalam konteksnya jumlahnya yang cukup banyak dalam beberapa kawasan , tetapi juga kadang-kadang mereka memegang jabatan yang biasanya dipegang oleh orang Eropa, karena mereka dianggap paling mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wilayahsetempat.Di tingkat paling bawah adalah kategori ketiga, yaitu ketua kampung yang biasanya menyertai  pemerintahan lokal. Mereka juga memainkan peranan penting mengurusi hal-hak setempat sesuai dengan adat istiadat rakyatnya.
Karena Brooke tidak mampu dan juga enggan membawa pegawai Eropa, pemerintahan Sarawak sebagian besar bergantung pada pegawai pribumi lokal. Dengan jumlah pegawai Eropa yang sangat kecil membuat pemerintah sangat bergantung  pada kerjasama dengan pegawai pribumi. Meskipun sebenarnya peranan baru  ketua masyarakat pribumi dalam pemerintahan sebenarnya menjadi terbatas. Jika sebelumnya para ketua masyarakat pribumi ini memiliki peran ganda baik sebagai ketua masyarakat yang memiliki kekuasaan dan juga melakukan peran pedagang. Pada masa kekuasaan keuarga Brooke para ketua masyarakat pribumi yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dilarang ikut terlibat dalam perdagangan. Hal ini mengikut konsep politik barat yaitu siapa yang memerintah sebaiknya tidak terlibat dalam perdagangan. “Rules did not soil their hands in trade”.
Walau bagaimanapun hubungan yang erat dengan pemerintahan itu sekurang-kurangnya telah memberikan sedikit pengalaman kepada ketua-ketua Melayu Islam dan memberikan mereka pemahaman tentang kesadaran politik dan pengetahuan umum mengenai administrasi pemerintahan.

Peran masyarakat Pribumi Melayu di  British North Borneo Company (BNBC)

            Di Sabah, pada masa yang sama penyertaan orang Melayu Islam dalam politik dan pemerintahan agak sedikit berbeda dengan kasus berlaku di Sarawak. Perbedaan ini dapat dilihat dalam konteks penyertaan mereka dalam kerajaan. Di Sabah, penyertaan orang Melayu Islam terbatas pada tingkat lokal saja, sedangkan di Sarawak keterlibatan orang Melayu Islam ada di tingkat pusat dan tingkat daerah.
            Pada masa (1881-941), Sabah (Kalimantan Utara) di perintah oleh Syarikat Dagang Inggris Kalimantan Utara (BNBC). Walaupun BNBC baru mendapat pengesahan sebagai penguasa di Kalimantan Utara dari kerjaan Inggris (Royal Charter) pada tahun 1881, tetapi pelopor pemerintahannya seperti William Pretyman, H.L.Leicester dan William Pryer telah berada di Sarawak sejak tahun 1878. Untuk mengimbangi kekuarangan pengaruhnya di Borneo semasa menunggu pengesahan dari kerajaan Inggris Sarikat Dent membentuk tiga pusat pemerintaha di Tempasuk, Papar dan kampung Serman (Sandakan).
            Di Sabah, diantara ketiga orang Residen yang dilantik oleh BNBC, Pretyman, Leicester dan Pryer, pada tahun 1878, Pryer dianggap sebagai Residen yang paling berhasil mendapat dukungan dari masyarakat pribumi setempat. Dari sejak permulaan kedatangannya, Pryer sering mengunjungi daerah-daerah dan melawat Ketua-ketua masayarakat lokal untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat di sana dan juga untuk membicarakan kasus-kasus yang ada. Pryer dianggap berhasil membangun Sandakan bersama-sama dengan ketua-ketua masyarakat lokal dan para ketua kampungnya. Tanpa dukungan dari rakyat dan ketua nya, tidak mungkin untuk Pryer dapat memerintah kawasan ini hanya dibantu oleh dua orang pembantu yang terdiri dari seorang Afrika dan seorang India.
Pada periode awal pemerintahan Pryer (Sandakan ), Pretyman (di Tempasuk) , Leicester (Papar), ketua-ketua Pribumi tidak digabungkan sebagai pegawai yang mendapat gaji. Para pegawai pribumi ini tetap menjalankannya perannya di pengadilan, memelihara keamanan, memungut pajak atas dasar komisi seperti pada masa lalu. Dengan mengekalkan struktur institusi pribumi yang tradisional, ketiga orang Residen ini dapat memelihara dan mengukuhkan kedudukan mereka.
Di bawah pemerintahan BNBC yang dimulai pada tahun 1881 sampai dengan 1941 . Pembentukan BNBC ditandai dengan dilantiknya seorang Gubernur untuk wilayah Sabah, keperluan untuk mendapatkan dukungan dari kalangan pribumi dilakukan dengan mengekalkan  azas institusi pribumi yang tradisional .Institusi Pribumi yang utama yang digabungkan ke dalam pemerintahan BNBC adalah institusi Ketua Anak Negeri (masyarakat pribumi), Ketua Kampung dan Mahkamah Anak Negeri (lokal). Dasar BNBC memerintah daerah yang cukup luas dan sedang berkembang dengan hanya memperkerjakan sejumlah kecil pegawai Eropa, mengakibatkan ketergantungan pemerintah BNBC yang besar kepada Ketua Kampung setempat. Untuk menjamin kecakapan dan penguasaan yang baik, pihak BNBC telah membagi ketua-ketua itu pada ketua yang diakui dan yang tidak diakui. Pemilihan dibuat berdasarkan pengaruh dan kekuatan seseorang ketua. Ketua yang diakui akan diberi gelar  Ketua Anak Negeri dan digabungkan dalam pemerintahan BNBC.  Kemudian Ketua Anak Negeri ini di bagi pula pada Ketua Anak Negeri yang digaji dengan Ketua Anak Negeri yang tidak diberi gaji. Pada teorinya , tugas Ketua Anak negeri yang diberi gaji adalah memelihara keamanan dan peraturan, memungut pajak, dan memegang wewenang pengadilan di wilayahnya.
Selanjutnya setelah Ketua Anak Negeri, institusi yang yang diakui adalah Ketua Kampung. Ketua Kampung yang diakui oleh pemerintah menerima bayaran antara $3.00 sampai $5.00 sebulan sebagai upah. Kedudukan Ketua Kampung telah diakui pada tahun 1891 dalam akta ‘village Administration Proclamation’. Tujuannya adalah untuk mengatur kedudukan  dan peranan Ketua Kampung. Ketua Kampung yang terbaik biasanya memainkan  peranan penting sebagai  Pengadil Anak Negeri mengawasi daerahnya, membantu memungut pajak dan melaksanakan kerja seorang Pegawai daerah di wilayah pedalaman.
Pada tahun 1910, Gubernur BNBC Sir West Ridgeway  membuat undang-undang tentang Ketua Anak Negeri. Pembuatan undang-undang ini telah membawa pemerintahan BNBC  kepada proses birokrasi yang lebih jelas. Dalam undang-undang tersebut, Ketua Anak Negeri dibagi dalam 2 kategori yaitu tingkat (Gred)1,dan  tingkat 2, kriteria pemilihannya  didasarkan pada pengaruh, kepandaian dan prestasi kerja masa lalu. Oleh sebab itu para ketua ini diharuskan menyimpan catatan kasus-kasus pribumi, pemulangan pajak kepala dan pemindahan kepemilikan tanah, kemampuan membaca dan menulis menjadi kriteria penting dalam pemilihan itu. Ketua Gred /tingkat 1 menjadi Ketua Daerah, sedangkan Ketua tingkat 2  wakil bagi Ketua Daerah kecil.
Di samping membagi Ketua Anak negeri pada dua kategori, Ridgeway juga menggantikan Majelis Penasehat yang lama dengan Majelis Undangan pada tahun 1912. Majelis baru ini anggotanya terdiri dari 7 orang anggota resmi dan 4 orang anggota tidak resmi yang mewakili dan masyarakat Asia, peladang dari kawasan pantai timur dan Barat dan golongan pedagang. Meskipun dikatakan bahwa dalam Majelis ini terdapat anggota tidak resmi yang mewakili masyarakat Asia, tetapi tidak terdapat seorangpun wakil pribumi. Tidak dilibatkannya wakil pribumi dalam lembaga ini menurut  BNBC adalah kepentingan masyarakat pribumi  bisa diwakili  kepemimpinan Gubernur dan anggota resmi Majelis Undangan.
Kelompok Pribumi hanya memiliki perwakilan dalam Majelis Penasehat untuk hal –hal yang berkaitan dengan masalah pribumi yang dibentuk pada tahun 1887. Walapun sebenarnya lembaga ini hanya nama saja, karena tidak memiliki makna dan tidak pernah berfungsi.   Barulah pada tahun 1915 ketika  C.W.C Parr menjadi Gubernur, Majelis ini berganti nama menjadi Majelis Penasehat Ketua Anak Negeri (Native Chiefs Advisory Council-NCAC). Tujuan pembentukan Majelis ini adalah untuk meningkatkan kepandaian dan keahlian ketua-ketua pribumi. Majelis ini beranggotakan semua Ketua Anak Negeri tingkat 1 yang dilantik oleh Gubernur dengan gelar Orang Kaya. Diantara 9 orang Ketua Anak negeri yang dilantik dalam Majelis, 8 diantaranya mewakili masyarakat Melayu Islam dan 1 orang lagi mewakili masayarakat Dusun. Pada tahun 1916 wakil orang Dusun ditambah menjadi 2 orang. Keanggotaan Anak Negeri di dalam NCAC adalah tetap kecuali meletakan jabatan atau di pecat oleh Gubernur. Di samping Ketua Anak Negeri, NCAC juga beranggotakan Gubernur sebagai Ketua, Sekretaris kerajaan dan residen Pantai Barat dan Timur. Fungsi NCAC adalah memberi nasehat dan Majelis ini tidak mempunyai kekuasaan membuat dan mengubah undang-undang.
Oleh sebab Majelis tidak mempunyai kekuasaan membuat undang-undang, maka keputusan-keputusan yang dihasilkan dari sidang-sidang NCAC hanya tinggal sebagai keputusan saja kecuali jika di setujui dan dilaksanakan oleh kerajaan.
Di samping menjadi dasar bagi ketua Anak Negeri untuk membicarakan masalah masyarakat pribumi  dan mengajukan usulan, NCAC juga menjadi tempat bagi Gubernur untuk mendapatkan dukungan moral terhadap undang-undang yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Pembentukan pemerintahan BNBC, membawa satu bentuk baru dalam penyertaan politik dan hubungan baru antara ketua-ketua masyarakat setempat dan BNBC. Sebagai seorang pegawai pemerintah mencontoh sistem Barat, para ketua-ketua pribumi ini diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perturan pemerintahan baru, dan tidak boleh mempunyai kepentingan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangakan di bawah sistem tradisional mereka pada masa Kesultanan  dahulu  ikatan politik ‘feodal’ berdasarkan hubungan ‘menopang’ antar  pribadi atasan bawahan dengan Datu, pengikut dengan ‘hamba’ mereka. Dalam masa peralihan ini, pada tahun 1890-an, para pegawai pribumi BNBC yang diberi gaji menghadapi dilema memilih antara dua aturan norma tersebut. Kadangkala pemberian gaji tidak dapat menjamin ketaatan penuh pada pemerintah BNBC. Pada awalnya, pihak BNBC tidak terlalu ketat kriterianya dalam memilih para  ketua pribumi yang bergabung dalam pemerintahan, Namun ketika pemerintah BNBC telah cukup kuat  dan sudah tidak terlalu mengandalkan dukungan pada pemimpin lama, pihak BNBC mulai memilih para ketua pribumi berdasarkan dengan kriteria yang diharapkan oleh mereka., meskipun ketua-ketua tersebut tidak di akui sebagai pemimpin tradisional. Pemilihan seperti ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin ketaatan dan kesetiaan ketua-ketua tersebut untuk menghindari terjadinya pertentangan kepentingan. Misalnya , Gubernur Birch (1901-1904) mulai melantik ketua-ketua yang dianggap layak menurut kriteria Eropa dibandingkan ketua-ketua lain pada jaman  pra-BNBC.

Penutup

            Pada satu hal tertentu ada kemiripan antara pemerintahan Brooke di Sarawak dengan BNBC di Sabah, terutama ketua-ketua masyarakat pribumi di kedua wilayah ini tidak lagi memperoleh pendapatan mereka dari hak monopoli yang telah dijalankan selama berabad-abad, tetapi menerima gaji dari kerajaan seperti pegawai yang lain. Selain itu , kedua pemerintahan tersebut tetap mengekalkan institusi-institusi pribumi yang telah ada bahkan institusi ini mereka gunakan untuk mendukung kegiatan pemerintahan mereka.  Di Sarawak, James Brooke menggunakan elit tradisional untuk memelihara pemerintahan dan mengukuhkan kekuasaannya. .James Brooke menggabungkan Jabatan datu Melayu ke dalam peringkat kerajaan yang lebih tinggi dalam Majelis , melibatkan para ketua Melayu lokal (Anak Negeri) dalam pemerintahan di tingkat Daerah dan Kampung. Rajah Brooke menempatkan dirinya dalam struktur Melayu seperti yang ada di kalangan orang Melayu di Semenanjung. Pandangan ini dapat dihubungkan dengan konsep raja dalam masyarakat Melayu  karena Rajah Brooke itu juga berfungsi sebagai sultan. Untuk memelihara dan menjamin kedudukannya, James Brooke rajah putih pertama tetap mengekalkan elit tradisional  dan mengakuinya sebagai pemimpin kelompok masyarakat lokal meskipun kekuasaan mereka mulai di batasi. Kedudukan mereka tidak lebih daripada pegawai pemerintahan sipil yang biasa menerima gaji tetap sebagai ganti pemungutan hasil tahunan dari orang Melayu dan Dayak setempat.
            Di sabah, pola kepemimpinan yang telah ada pada masa Kesultanan Brunai dan Sulu tidak di ikuti sepenuhnya oleh BNBC. Karena,di sabah Ketua Anak Negeri sudah terpecah-pecah diantara mereka dan kedudukan/status mereka tidak sekukuh Ketua Anak Negeri Sarawak. Kebanyakan Datu dan Ketua di Sarawak adalah orang setempat (asli Sarawak). James Brooke menempatkan semula kedudukan mereka dan menonjolkan kemartaban mereka dengan tujuan untuk menentang ketua-ketua Brunai, seperti para pangeran atau Syarif yang dianggap Brooke sebagai musuh mereka. Di Sabah pihak BNBC tidak menghadapi banyak pertentangan daripada Pangeran Brunai atau datu Sulu. Pada awal pemerintahan BNBC, ketiga orang pelopor pemerintahan  (Pryer, Leicester dan Pretyman) khususnya Pryer, menggunakan Ketua Anak Negeri dan Ketua kampung pada tahap tertentu untuk memerintah masyarakat pribumi dengan sangat bagus. Dasar ini di teruskan ketika pihak BNBC menggabungkan banyak Ketua Pribumi Islam dalam pemerintahannya. Ketua Anak Negeri bertugas di tingkat negeri melalui NCAC. Walau sebenarnya fungsi utama mereka lebih berperan di tingkat lokal melalui institusi pribumi tradisional seperti Mahkamah, Ketua Anak Negeri dan Ketua Kampung. Ketiga institusi ini tetap dikekalkan pada masa pemerintahan BNBC.

Linda Sunarti, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah pada Program Pascasarjana  Universitas Indonesia. lindsayrani@yahoo.co.uk

KAITAN MASYARAKAT MELAYU PERABANGAN SARAWAK DENGAN SEJARAH KERAJAAN SINTANG, KALIMANTAN BARAT




Sejarah purba Sarawak suatu waktu dahulu bermula dengan penguasaan kerajaan Srivijaya ke atas wilayah pesisiran Sarawak yang membolehkan orang-orang Melayu dari Sumatera berhijrah dan menetap di kawasan pesisiran Sarawak. Masyarakat Melayu telah membuka penempatan mereka di Santubong yang merupakan antara pelabuhan entrepot terpenting di Nusantara suatu waktu dahulu. Ini telah dibuktikan dengan dengan penemuan beberapa bahan artifak seperti pasu zaman dinasti Han Cina di Santubong. Setelah kejatuhan kerajaan Srivijaya pada kurun-13, Sarawak dikuasai oleh kerajaan Majapahit. Dikala itu muncullah seorang putera Raja Majapahit iaitu Raden Menteri Dipati Jepang atau Datu Merpati Jepang yang berhijrah ke Sarawak pada kurun ke-15. Baginda telah berkahwin dengan Datu Permaisuri anak perempuan Raja Jarom Jawa di Johor sebelum berhijrah ke Sarawak. Daripada keturunan Datu Merpati Jepang, muncullah golongan bangsawan Melayu Sarawak yang bergelar Abang bagi lelaki dan Dayang bagi perempuan. Golongan Melayu Perabangan Sarawak telah memegang banyak jawatan terpenting seperti Datu Patinggi, Datu Temenggong, Datu Bentara pada zaman pemerintahan Brooke di Sarawak. Walaubagaimanapun ada juga teori yang mengatakan bahawa golongan bangsawan Perabangan itu juga berasal keturunan daripada Dato Godam daripada Pagaruyung. Namun begitu berapa ramai yang mengetahui bahawa ada satu lagi jejak warisan masyarakat Melayu Perabangan Sarawak ini dengan sebuah kerajaan di Kalimantan Barat iaitu yang dikenali sebagai Kerajaan Sintang. Inilah artikel yang akan dikongsi oleh Borneo Oracle iaitu Kaitan Melayu Perabangan Sarawak dengan Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat.

Kerajaan Sintang pada awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat suatu waktu dahulu. Pada asalnya ianya adalah kerajaan dibawah pengaruh Hindu. Raja pertama Kerajaan Sintang adalah Aji Melayu iaitu seorang penyebar agama hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Mengikut sejarahnya, baginda telah menetap di Kunjau dan kemudian berpindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk. Hasil perkahwinannya dengan wanita tempatan yang bernama Putung Kempat telah dikurniakan dengan seorang puteri yang dinamakan Dayang Lengkong. Dan generasi Dayang Lengkong telah mewarisi Kerajaan Sintang melalui anakanda-anakandanya iaitu Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Demang Irawan (Jubair Irawan 1) dan Dara Juanti. Sekitar abag ke XIII, Demong Irawan telah mengambilalih kuasa tampuk pemerintahan Kerajaan Sintang dan menukar namanya menjadi Jubair Irawan I dan telah memindahkan pusat kerajaan Sintang daripada Desa Tabelian kepada satu lokasi di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Setelah kemangkatan Jubair Irawan I, Kerajaan Sintang telah diperintah oleh adindanya iaitu Dara Juanti namun begitu ketika era pemerintahan Dara Juanti ini, Kerajaan Sintang berada di era kemunduran sehinggalah ianya seperti kerajaan yang tidak wujud. Sehinggalah akhirnya Kerajaan Sintang diwariskan kepada cicitnya iaitu Abang Samad barulah Kerajaan Sintang kembali bernyawa semula. Disinilah bermulanya era kecemerlangan Kerajaan Sintang apabila generasinya meneruskan sebuah kerajaan yang maju lebih-lebih lagi dibawah kepimpinan Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Pada masa ini Kerajaan Sintang masih lagi sebuah kerajaan berpengaruh hindu sehinggalah rajanya yang terakhir memerintah iaitu Abang Pencin yang telah memeluk agama Islam dan menjadikan Kerajaan Sintang sebuah kerajaan Islam di Nusantara. 

Semasa pemerintahan Kerajaan Sintang dibawah Abang Pencin, Kerajaan Sintang adalah sebuah kerajaan Islam yang maju jaya. Apabila baginda mangkat telah ditabalkan putera sulungnya iaitu Abang Tunggal sebagai raja di Kerajaan Sintang. Abang Tunggal telah menggunakan nama Sri Paduka Tuanku Tunggal. Mengikut salsilah Kerajaan Sintang sewajarnya Abang Tunggal menyerahkan tampuk pemerintahan kepada puteranya iaitu Pangeran Purba namun begitu Pangeran Purba telah berkahwin dengan puteri kepada Raja Nanga Mengkiang dan menetap di negeri sebelah isterinya manakala Abang Itut masih kecil. Oleh kerana itulah Abang Tunggal telah memilih anak saudaranya iaitu anak kepada kakandanya, Nyai Cili isteri kepada Mangku Negara Melik iaitu Abang Nata untuk mewarisi sebagai raja di Kerajaan Sintang. Abang Nata yang ditabalkan menjadi raja Kerajaan Sintang bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa’adul Khairi Waddin. Bagindalah raja Kerajaan Sintang yang pertama menggunakan gelaran Sultan di dalam Kerajaan Islam Sintang. Semasa pemerintahan Sultan Nata inilah perkembangan Islam di bumi Sintang telah gah sekali. Telah didirikan sebuah masjid yang dinamakan Masjid Sultan Nata di Sintang dan ketika inilah jajahan takluk Kerajaan Sintang telah memanjang sehingga ke Daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, provinsi sempadan Kalimantan Barat dan Sarawak dan juga Melawi. Seperti sultan yang lain, Sultan Nata telah berkahwin dengan golongan diraja di dalam kerajaan di Kalimantan Barat iaitu baginda menikahi Putri Dayang Mas Kuma, seorang puteri dari Kerajaan Sanggau. Hasil perkahwinan ini telah dikurniakan seorang puteri iaitu Abang Adi Abdurrahman. 

Setelah Sultan Nata mangkat pada tahun 1150H yang kemudiannya disemadikan di Kampung Sungai Durian Sintang, Abang Adi Abdurrahman telah ditabalkan menjadi Sultan yang bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin. Baginda juga dikenali dengan jolokan Sultan Aman kerana semasa pemerintahan baginda, Kerajaan Sintang amat aman sentosa sehingga tiada kekacauan yang dilaporkan. Pernikahan Sultan Aman dengan Utin Purwa iaitu seoran puteri kepada Raja Sanggau telah dikurniakan dengan 2 orang anak iaitu Abang Adi Abdurrasyid dan Raden Machmud. Pernikahan dengan isteri keduanya pula dikurniakan dengan seorang putera yang bernama Abang Tole. Setelah kemangkatan Sultan Aman, Abang Adi Abdurrasyid yang ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Sintang dengan menggunapakai gelaran Sri Paduka Tuanku Sultan Abdurrasyid Muhammad Jamaluddin. Sultan Abdurrasyid memerintah dalam waktu yang singkat kerana baginda jatuh gering dan akhirnya mangkat pada tahun 1210H. Kemudian Kerajaan Islam Sintang telah diperintah oleh anakanda Sultan Abdurrasyid iaitu Abang Adi Nuh. Abang Adi Nuh telah menggelar dirinya sebagai Sri Paduka Tuanku Pangeran Sultan Adi Nuh Muhammad Qamaruddin. Pada masa inilah Kerajaan Sintang telah mulai didatangani oleh Belanda dan telah memberi tekanan yang hebat kepada pemerintahan Kerajaan Islam Sintang. Setelah kemangkatan Sultan Adi Nuh, putera baginda iaitu Abang Ismail telah ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Sintang. Gelaran bagi Abang Ismail adalah Sri Paduka ‘Tuanku Sultan Gusti Ismail Kesuma Negara. Dikala ini, pemerintahan Belanda telah memberikan tekanan yang hebat sehinggalah pemerintahan Belanda telah masuk campur di dalam urusan Kerajaan Sintang. 

Selepas itu dikatakan pemegang tampuk Kerajaan Islam Sintang hanya boneka Belanda sehingga menyebabkan ramai golongan bangsawan Kerajaan Sintang termasuk pembesar-pembesar Kerajaan Sintang telah berhijrah membawa diri ke Sarawak sehingga membentuk masyarakat Melayu Perabangan di Sarawak. Ramai juga golongan bangsawan Kerajaan Islam Sintang yang tidak sempat melarikan diri telah ditangkap atas tuduhan membuat tindakan revolusi keatas pemerintahan Belanda di Kerajaan Sintang. Akhirnya Kesultanan Islam Sintang telah dibubarkan pada 1 April 1960M dengan “Sultan” terakhirnya Abang Abdul Bachri Danu Perdana diangkat menjadi pemerintahnya yang terakhir sebelum dibubarkan. 

Inilah sekelumit sejarah jejak warisan melalui salsilah golongan bangsawan Kerajaan Sintang dan hubungannya dengan masyarakat melayu Perabangan di Sarawak. Satu lagi jejak warisan mengenai satu masyarakat komuniti Melayu di Sarawak yang agak unik berdasarkan sejarah asal keturunannya. Sesungguhnya dunia Melayu Nusantara adalah satu dunia yang besar yang mencakupi apa yang dipanggil Kepulauan Archipelago dan sentiasa ada hubungkaitnya diantara satu sama lain. Biar apapun bangsa keturunan kita namun begitu Sarawak Bumi Kenyalang sentiasa hidup harmoni dan mengamalkan toleransi agama dan budaya yang terbaik yang menjadi kebanggaan setiap rakyat Sarawak yang memanggil dirinya Bangsa Sarawak.-Borneo Oracles
kredit: The Sarawak Post Blog

Kepulauan Natuna: 'Bergeografikan Malaysia' Berdaulatkan Indonesia

Diterbitkan: Sabtu, 7 Disember 2013 12:00 AM-

MStar Malaysia
 
Kedudukan Kepulauan Natuna
Kedudukan Kepulauan Natuna
KEPULAUAN Natuna adalah gugusan kepulauan yang berselerakan di tengah-tengah Laut China Selatan yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Sarawak. Ia terletak lebih kurang 450km di utara pulau Singapura. Pulau terbesar di dalam gugusan kepulauan Natuna adalah Pulau Serindit atau nama lainnya, Pulau Bunguran.
Nama antarabangsa yang diiktiraf bagi Pulau Bunguran ialah ‘Natuna’. Walaupun dikatakan terpencil, Kepulauan Natuna terletak di kawasan laluan utama perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat.
Berpusatkan kota Ranai sebagai ibu negerinya, Kepulauan Natuna terdiri daripada 272 buah pulau yang terletak di barat laut Pulau Borneo. Mungkin terdapat sebahagian daripada kita yang bertanya; kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?
Penduduk
Sehingga tahun 2010, dianggarkan penduduk di Kabupaten (Regency) Natuna adalah sebanyak 69,003 orang, yang terdiri daripada 35,741 orang lelaki dan 33,262 perempuan. Lebih kurang 85% penduduk di sana 85.27% adalah berketurunan Melayu dan selainnya adalah berketurunan Jawa, Sumatera dan Cina.
Bahasa pertuturan utama adalah Bahasa Melayu dielek negeri Terengganu dan Islam adalah agama utama penduduk di Kabupaten Natuna.
Sejarah
Sejarah Kepulauan Natuna tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh negeri-negeri di Tanah Melayu. Pemerintahan di Natuna dikatakan bermula pada tahun 1597 yang didirikan hasil gabungan penghijrahan kaum bangsawan Patani dan Johor. Pada sekitar kurun ke-16 iaitu selepas kejatuhan Kesultanan Melayu Melaka ke tangan Portugis, kerajaan Patani dan Johor muncul sebagai kuasa baru di rantau Tanah Melayu.
Kuasa dan pengaruh kesultanan Patani dikatakan lebih tertumpu di kawasan utara merangkumi negeri-negeri Terengganu, Kelantan, Menara (Narathiwat) dan Jala (Yala) sebelum dijajah Siam pada kurun ke-18. Manakala Kesultanan Johor pula menguasai kawasan selatan yang terdiri daripada negeri Pahang, sebahagian pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau.
Susur galur pemerintahan Patani di Natuna bermula apabila salah seorang puteri berketurunan pemerintah asal Natuna bernama Puteri Wan Seri Bulan yang telah berkahwin dengan Datuk Bendahara Lingkai al-Fathani, seorang kerabat diRaja Patani. Zuriat dari pasangan ini telah menjadi Datuk Kaya yang memegang teraju pemerintahan Natuna.
Selain dari itu, antara pemerintah yang terkenal ialah Wan Muhammad al-Fathani yang berketurunan Orang Kaya Aling.
Baginda, yang juga digelar Orang Kaya Perdana Mahkota telah berhubung dengan pihak Inggeris pada tahun 1848 apabila Penguasa Tentera Inggeris bagi negeri-negeri Selat di Tanah Melayu, Leftenan Kolonel Butterworth menghadiahkan sebuah meriam tembaga atas jasa baginda memberikan bantuan kepada sebuah kapal milik pihak Inggeris yang pecah di sekitar pulau Natuna pada 25 Januari 1848.
Sorotan sejarah pemerintahan dan kependudukan awal bangsa Melayu di Natuna ini jelas menunjukkan bahawa kepulauan tersebut mempunyai hubungan yang lebih erat dengan dengan negeri-negeri di Tanah Melayu berbanding dengan kerajaan-kerajaan dari kepulauan Indonesia ataupun pihak penjajah Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).
Pemerintahan Penjajah Barat Di Nusantara
Kepulauan Melayu (Nusantara) adalah gugusan kepulauan yang terbesar di dunia dan Pulau Natuna terletak di kawasan ini. Sejak zaman kerajaan Srivijaya lagi, iaitu bermula dari kurun ke-7 Masihi, kerajaan-kerajaan Melayu sangat aktif dalam bidang perdagangan dan kota-kota Melayu menjadi pusat pelabuhan yang penting, seperti Palembang, Melaka, Kotaraja (Aceh), Patani dan Brunei.
Namun, kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu dan kekayaan sumber-sumber alam kepulauan Melayu ini telah mengundang minat penjajah Barat untuk datang menguasai rantau ini.. Kerajaan Melaka adalah kerajaan yang pertama jatuh ke tangan penguasa Portugis pada tahun 1511.
Melaka kemudiannya dikuasai oleh Belanda pada tahun 1641 sementara Bengkulu, yang terletak di Pulau Sumatera, dikuasai Inggeris pada tahun 1685.
Perlumbaan dalam mengembangkan kuasa dan pengaruh British dan Belanda di Kepulauan Melayu telah menimbulkan rasa tidak puas hati antara kedua-dua kuasa penjajah tersebut.
Bagi menamatkan bibit-bibit konflik dan mengekalkan hubungan baik British-Belanda, Perjanjian Inggeris-Belanda pada 17 Mac 1824 (Perjanjian 1824) telah dimetarai. Perjanjian ini telah membahagikan ‘Dunia Melayu’ di mana kedua kuasa tersebut secara sewenang-wenangnya melakarkan ‘peta kekuasaan’ masing-masing.
Artikel 10 Perjanjian ini berbunyi ‘Kota Melaka diserahkan kepada Raja Inggeris, manakala Raja Belanda dan rakyatnya tidak akan menubuhkan sebarang penempatan di Singapura dan Semenanjung Melaka (Semenanjung Melayu)’. Artikel 9 Perjanjian 1824 mengiktiraf pengaruh Belanda di Pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura.
Dengan termeterainya perjanjian ini, pihak British tidak akan membuka penempatan di pulau-pulau di selatan Singapura dan Belanda juga tidak akan membuka penempatan di Semenanjung Melayu.
Perjanjian 1824 ini telah menjarah sempadan di kepulauan Melayu dan kesannya kekal sehingga ke hari ini.
Kesan Perjanjian 1824 ke Atas Kepulauan Natuna
Secara umum, boleh dikatakan bahawa Perjanjian 1824 tidak meletakkan kepulauan Natuna dengan jelas sama ada di bawah pengaruh Inggeris atau Belanda.
Akan tetapi, Perjanjian 1824 ada mengatakan yang Belanda tidak akan menubuhkan penempatan di utara pulau Singapura dan Semenanjung Melayu yang diiktiraf sebagai wilayah British.
Wilayah Belanda adalah di pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura. Dari sudut geografi, Kepulauan Natuna bukanlah gugusan kepulauan yang terletak di selatan pulau Singapura.
Kepulauan Natuna Sebagai Wilayah di Dalam Indonesia
Kepulauan Natuna telah dimasukkan sebagai salah sebuah wilayah di dalam Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah bertarikh 18 Mei 1956.
Kabupaten Natuna kemudiannya telah ditubuhkan di dalam Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 yang telah dikuatkuasakan pada 12 Oktober 1999.
Namun, jika dilihat pada peta Asia Tenggara, jelas menunjukkan bahawa Kepuluan Natuna secara semulajadinya terletak sejajar dengan lokasi negeri Terengganu, sekiranya garis lurus dilukis dari pesisir negeri berkenaan ke arah timur.
Sempadan Indonesia jelas melengkung ke atas dan bukanlah dalam satu garisan yang lurus.
Kepulauan Natuna menjadi salah satu aset utama dalam menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.
Dalam melukis garis kepulauan bagi membentuk perairan kepulauan, satu garis melengkung telah dilukis dari Pulau Bintan ke arah utara menyambung Kepulauan Anambas dan seterusnya Kepulauan Natuna sebelum garis ini melengkung ke bawah untuk bersambung dengan provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan sumber sejarah, adalah munasabah untuk mengatakan Kepulauan Natuna tidak banyak mempunyai perkaitan dengan negara Indonesia. Kepulauan Natuna berbeza dengan tanah jajahan Belanda yang lain di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Makassar dan Papua.
Wilayah-wilayah ini yang menjadi milik Indonesia yang mewarisinya daripada bekas penjajahnya, Belanda apabila Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Konsep yang wujud di dalam undang-undang antarabangsa ini dipanggil utti possideti juris.
Semasa Perjanjian 1824 dibuat, kepulauan Natuna masih lagi di bawah pengaruh kesultanan Melayu menerusi pemerintahan Baginda Wan Muhammad al-Fathani. Juga, Perjanjian 1824 tidak secara jelas meletakkan kepulauan Natuna di bawah pengaruh Belanda.
Malah, sekiranya Perjanjian 1824 diteliti, Belanda tidak berhak membuka penempatan di mana-mana kawasan di utara pulau Singapura yang jelas berada di dalam kawasan pengaruh British.
Secara logiknya, memandangkan kepulauan Natuna masih berada di dalam wilayah lingkup kerajaan Johor saat Perjanjian 1824 ditandantangani, ianya patut berada di bawah pengaruh British, yang menjadi penaung bagi kesultanan Johor pada ketika itu.
Oleh itu, mungkin timbul hujah yang mengatakan kepulauan Natuna sepatutnya berada bersama Malaysia apabila kesultanan Johor merdeka di dalam Persekutuan Malaya pada tahun 1957 menerusi konsep utti possideti juris.
Tuntutan ke Atas Kepulauan Natuna
Indonesia secara rasmi memasukkan kepulauan Natuna sebagai wilayahnya pada tahun 1956, setahun sebelum Tanah Melayu (Malaysia) mencapai kemerdekaan dan 6 tahun sebelum berlakunya Konfrontasi Malaysia dengan Indonesia.
Tanah Melayu pada ketika itu masih lagi diperintah British dan belum lagi menjadi sebuah negara berdaulat bagi menuntut ketuanan ke atas kepulauan Natuna. Walaupun Tanah Melayu mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 dan menjadi Malaysia pada tahun 1963, Konfrontasi Malaysia-Indonesia yang berlaku pada tahun 1962-1966 berkemungkinan telah mengalih pandangan pemerintah Malaysia pada ketika itu yang lebih menumpukan untuk menamatkan konflik dengan Indonesia.
Manakala Indonesia pula memerlukan kepulauan Natuna supaya garis kepulauan dapat dilukis menghubungkan pulau-pulau di dalam Indonesia bagi mencipta sebuah lingkungan laut kepulauan bagi memenuhi hasratnya menjadi sebuah negara kepulauan (Archipelagic State) berdasarkan undang-undang laut antarabangsa.
Makanya, besar kemungkinan, atas dasar ingin menamatkan konfrantasi dan berbaik-baik dengan jiran serumpun, isu tuntutan kedaulatan ke atas kepulauan Natuna mungkin tidak menjadi keutamaan pemerintah Malaysia pada ketika itu. Sehingga kini, Malaysia mengiktiraf kedudukan kepulauan Natuna sebagai sebuah wilayah dalam negara kepulauan republik Indonesia.
Di bawah konsep undang-undang antarabangsa, sesebuah wilayah itu boleh diperolehi oleh sesebuah kerajaan atau kuasa pemerintah melalui empat cara iaitu perluasan wilayah melalui cara semulajadi (accretion), penyerahan wilayah (cession), penjajahan, dan effective occupation ataupun prescription.
Prescription merujuk kepada tindakan sebuah negara yang mezahirkan kedaulatan dengan cara mengamalkan penguasaan ke atas wilayah tertentu tanpa dibantah oleh negara-negara lain.
Berdasarkan fakta ini, boleh dikatakan bahawa Indonesia telah menguasai Pulau Natuna selama 56 tahun tanpa bantahan dari Malaysia sejak tahun 1956.
Oleh yang demikian, adalah sukar untuk ketika ini bagi Malaysia menuntut hak kedaulatan ke atas kepulauan Natuna walaupun berdasarkan fakta geografi dan sejarah, kepulauan Natuna memang mempunyai pertalian yang kuat dengan negeri-negeri di Semenanjung Melayu.
Kesimpulan
Fakta-fakta sejarah jelas menunjukkan kepulauan Natuna mempunyai perkaitan yang lebih jelas dan kukuh dengan negeri-negeri Tanah Melayu berbanding kerajaan-kerajaan awal di kepulauan Indonesia.
Akan tetapi, tiada tuntutan konsisten pernah dilakukan oleh Malaysia dan kependudukan Indonesia di kepulauan Natuna tidak pernah dibantah oleh Malaysia.
Kedaulatan Indonesia ke atasnya telah mencipta ruang lingkup wilayah Indonesia yang membelah Malaysia kepada dua bahagian. Sehingga kini, kepulauan Natuna kekal sebagai sebuah wilayah Indonesia walaupun yang secara geografinya, kedudukan kepulauan tersebut lebih sejajar dengan kedudukan Malaysia.
Artikel ini disumbangkan Oleh MOHD HAZMI MOHD RUSLI (Ph. D) pensyarah kanan di Universiti Sains Islam Malaysia dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu. MOHD AFANDI SALLEH (Ph.D) seorang pensyarah kanan Universiti Sultan Zainal Abidin dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu dan WAN IZATUL ASMA WAN TALAAT (Ph. D), seorang profesor madya di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu.

Coretan Pertama 2021

 Tanpa disedari sudah lama rasanya berada dalam situasi pandemik disebabkan Covid-19. semua aktiviti seakan-akan terhenti lantaran kerisauan...